Resensi Novel Menolak Ayah karya Ashadi Siregar

Mei 07, 2019



Judul : Menolak Ayah
Penulis : Ashadi Siregar
Penyunting : Christina M Udiani
Perancang Sampul & Penataletak : Leopold Adi Surya
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : 434 halaman, ; 13,5x20 cm
Cetakan Pertama : Juli 2018
Cetakan Kedua : November 2018
ISBN : 978-602-424-864-2
Kategori : Sastra (17+)
Harga : Rp.85.000,-
Rate : 4,5/5 Bintang

***


Sinopsis

Ini bukan sebuah opos dari perjuangan di masa PRRI. Hanya kisah anak Batak yang melata hingga ke Jakarta. 
Tatkala seorang laki-laki mengabaikan istrinya, hanya meninggalkan penderitaan bagi perempuan, pantaskah dia menjadi seorang ayah? Ingatan pada ibu adalah sumber daya cinta. Perempuan adalah semesta kasih bagi Tondinihuta. 

***

Buku ini menceritakan perjalanan hidup anak Batak bernama Tondinihuta, yang ditinggalkan ayahnya dari kecil, sang ayah pergi meninggalkan tanah Batak dan menjadi pejabat di Ibu Kota Jakarta. Sang ayah bahkan membuang nama marganya yang ada di belakang namanya. Ibu Tondi hanyalah pedagang warung gorengan di bawah jembatan kereta api. Halia --ibu Tondi-- bertekad untuk setia kepada marga Padomutua;suaminya. Suami yang bahkan terasa bukan suami, karena Pardomutua tidak pernah datang lagi padanya, tapi juga tidak pernah meminta cerai. Tapi, Halia tetap setia, dia tidak ingin mengecewakan Inangboru dan Amangborunya. Sementara Tondi, hidup dengan segala keterbatasan, tidak mampu melanjutkan sekolah. Dan berakhir menjadi kenek bus. 
Seiring berjalannya waktu, kehidupan Tondi berubah. Dia bukan lagi kenek bus. Tapi sekarang dia berada didalam pasukan relawan PRRI ( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ), dia dilatih untuk menjadi pejuang melawan ketidakadilan di daerahnya. Sebenarnya, Tondi sendiri tidak begitu paham apa arti perang ini. Dia hanya tau PRRI dibentuk karena kekecewaan daerah-daerah terhadap pemerintahan pusat pasca kemerdekaan. Pemerintahan Soekarno kurang memeperhatikan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah, bangunan-bangunan yang rusak pasca perang melawan Belanda banyak yang terbengkalai dan tidak pernah di perbaiki. Bagi anggota PPRI ini adalah perjuangan, tapi bagi Soekarno PRRI adalah sebuah pemberontakan.


Jika ditanya apa hal yang membuat saya membawa buku ini dari jejeran buku-buku lain yang berada di rak toko buku yang saya datangi, itu adalah karena latar dari buku ini, yaitu kisaran tahun 1957-1965. Entah kenapa saya selalu suka dengan buku fiksi yang memiliki latar waktu yang jauh sebelum saya lahir. Ketika saya membacanya, saya merasa berada didalam dimensi lain. Saya merasa waktu terus berjalan, tapi cerita yang ditulis tidak akan habis di telan waktu. Itulah mengapa saya merasa harus membaca buku ini, kendati saya sendiri kurang banyak paham tentang PRRI, namun setelah membaca buku ini saya banyak mencari tahu apa itu PRRI.
Pada bagian awal ketika saya mambaca buku ini, ada hal yang membuat saya merasa buku ini berat.
Apalagi jika bukan karena istilah atau bahasa Batak yang ada didalam buku ini, karena asal saya bukan dari Batak dan jarang sekali membaca buku tentang daerah tersebut, saya merasa asing dengan bahasa yang digunakan. Yang saya tahu masyarakat Batak selalu memiliki marga, dan jika memiliki marga sama, maka mereka memiliki ikatan saudara dan tidak diperbolehkan menikah. Koreksi jika saya salah. Dari pengetahuan yang sepotong-sepotong itu saya merasa buku ini berat dan saya harus pelan-pelan membacanya. Untung saja, terdapat glosarium diakhir halaman buku. Jadi jika ada bahasa yang tidak saya pahami, saya langsung meluncur ke halaman akhir buku.

Saya suka cara penulis bercerita, gaya bahasa yang digunakan juga pas sekali. Saya tidak pernah merasa kebingungan saat mencerna kalimat-kalimat yang ada didalam buku. Malah menurut saya buku ini kaya akan diksi-diksi yang tersirat. Cara penulis yang cukup satire dan sarkas membuat tulisannya keras mengkritik pemerintah pada masa Soekarno. Melalui buku ini, saya bisa melihat sisi lain dari Bung Besar. Bukan menjadi tidak suka ataupun berubah sinis. Hanya saja bisa sedikit realistis menilai sosoknya. Dimana pada masa itupun, politikus-politikus hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Saya merasa porsi sejarah dan juga kisah keluarga Batak dalam buku ini terasa sangat seimbang dan pas, romansa, keluarga, persahabatan, mistis, dan juga tentang peperangan. Saya sebagai pembaca merasa terpuaskan dengan apa yang ditulis dalam buku ini. Konflik dan klimaks dalam buku ini menurutku memuaskan. Menggunakan sudut pandang orang ketiga membuat saya bisa melihat sudut pandang cerita secara luas dan membikin saya tidak bertanya-tanya. Memiliki alur flasback, membuat saya mengerti bagaimana penulis membuat konflik menjadi berkembang dan tidak membosankan. Didukung dengan tokoh-tokoh yang juga memiliki karakter kuat dan konsisten. Sekalipun karakter yang numpang lewat atau karakter pembantu. Penulis seperti tidak ingin menyia-nyiakan karakter-karakternya dalam cerita.

Saya suka buku ini, selain dari itu semua, buku ini memberi saya banyak pengalaman dan pengetahuan baru. Tentang orang- orang Batak, bagaimana mereka ternyata dahulu pernah memiliki keyakinan tersendiri yang mungkin sampai sekarang masih ada di Batak sana. tentang PRRI, tentang Soekarno dan orang-orang didalam pemeritahannya, tentang perjuangan seorang anak muda didalam hutan belantara. Dan tentang kesetiaan seorang perempuan. Tentang seorang anak yang ternyata memiliki kebahagiaan takterhingga karena bisnisnya ditengah prahara 1965.

Kalian semua, hars baca buku ini. Jangan sampai dilewatkan.


                                                                 ***

"Kalau kau tidak berperang, kau tidak membutuhkan senjata. Kalau kau ikut berperang, kau harus tahu siapa musuhmu. Kau harus bersunggung-sungguh membunuh. Perang dilakukan memang untuk membunuh. Kami yang tinggal di harajaon sini tidak pernah berperang. Tapi sudah sering melihat menusia berperang sesamanya diluar sana. Manusia selalu memilih cara perang untuk menguasai kelompok manusia lain. Perang yang kauikuti sekarang, mesti ada pihak yang mau menguasai dan ada yang bertahan tidak mau dikuasai. Setiap pihak ingin menang. Dalam setiap peperangan, hanya satu oihak yang menang. Atau kedua-duanya hancur. Tidak perah keduanya menang. Berperang dengan setengah-setengah,  perang tanpa sumangot, tidak ada gunanya. Akhir setiap perang ini haruslah hancur atau menang. Peperangan dilakukan dengan pertempuran dan setiap pertempuran harus membunuh." Ompung Silangit halaman 107


"Bagi pemerintah pusat, perang ini disebut penumpasan pemberontakkan. Tetapi bagi pendukung gerakan di daerah, itu adalah perjuangan sebagai gerkan koreksi terhadap jalannya pemerintahan yang dijalankan di Jakarta. Maka gerakan ini dinamakan Perjuangan Daerah. Gerakan ini merupakan tekanan terhadap pemerintah di Jakarta agar memperhatikan keadaan di daerah-daerah. Pemberontakan berlangsung setelah pemerintah Republik Indonesia memiliki parlemen hasil pemilihan umum, Tetapi dalam perjalanan roda pemerintahan, tidak banyak yang dilakukan umtuk memperbaiki keadaan di daerah. Pemerintah pusat silih berganti, partai-partai politik yang mengisi parlemen hanya sibukmereput posisi di kabinet. Daerah-daerah Indonesia yang luluh lantak akibat perang kemerdekaan masih tetap terpuruk." Hal. 235-236

***

Tentang Penulis



Ashadi Siregar lahir di Pematang Siantar, 1945, tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1964 hingga sekarang. Pada 1970-an dia dikenal untuk novel best seller-nya, seperti Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut; Semuanya telah difilmkan. Dia telah menulis 12 novel.
Selain itu Ashadi juga mengajar di Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), dan pengajar tidak tetap pada fakultas Seni Media Rekam. Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan Program Sekolah Pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM. Sejak 2010 pensiun sebagai pegawai negeri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dia juga memimpin lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya (LP3Y) sejak 1992 hingga 2014, sebuah organisasi yang berfokus pada pengembangan jurnalisme dan pelatihan wartawan. Buku Menolak Ayah ini adalah novel mutakhirnya.

You Might Also Like

0 komentar

SUBCRIBE ME



Pengikut