Resensi Novel Tiba Sebelum Berangkat karya Faisal Oddang

September 19, 2019



Judul : Tiba Sebelum Berangkat
Penulis : Faisal Oddang
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan Pertama, April 2018
Penyunting : Christina M. Udiani
Perancang Sampul dan Penata Letak : Leopold Adi Surya
Tebal : vi+216 hlm; 13,5 x 20 cm
Kategori : Fiksi Sejarah, Sastra
ISBN : 978-602-424-351-7
Harga P. Jawa : Rp 60.000,-
Nilai Goodreads : 4,5/5 Bintang


Blurb
"Bagaimana cara mengenali hidup ini?"

"Kau akan menemukan jawabannya pada napasmu. Diantara yang terembus dan terhela, ada jawaban untuk semua pertanyaan. Bahkan ia lebih nyata dari seseorang yang kau temukan di muka cermin." katanya

Setelah Negara Indonesia Timur bubar, seorang tentara gerilya keluar masuk hutan untuk memintanya segera menyelamatkan diri. Namun, ia bertahan dan tetap menjadi bissu hingga akhirnya ia menemukan tubuh-tubuh hangus dikoyak anjing--salah satunya, tubuh kekasihnya.

Kisah yang terbentang dari tahun 1950 sampai ketika Anda membacanya saat ini. Pengkhianatan, air mata, penyiksaan, dendam, kematian, amarah, dan cerita cinta yang muram dikisahkan oleh seseorang yang sedang berada di ruang penyekapan ditinggalkan sebelum dijual.

***
Sebelum saya masuk kedalam uraian singkat saya mengenai buku ini. Saya ingin mengutarakan kesan pertama saya ketika membaca bab-bab awal buku ini. Entah berapa kali saya di buat terkejut terhadap buku ini dengan mengucapakan "oh my god", saya sendiri tidak menghitung karena banyaknya. Lalu saya berpikir, ini nih buku yang saya cari-cari. Dan kemudian setelah itu saya merasa bahagia karena memilih buku Tiba Sebelum Berangkat sebagai bacaan saya.

***

Buku ini menceritakan tentang seorang mantan bissu bernama Mapata dari Sulawesi Selatan yang di culik oleh seseorang yang menganggap dirinya atau lebih tepatnya mereka ( karena merupakan suatu kelompok/organisasi ) "Pencegah Penistaan Negara dan Agama" yang diakui secara sah oleh negara. Mapata di culik dan anggota perkumpulan Tidak Ada Yang Suci Di Bawah Matahari Ini yang dia naungi dibunuh secara sadis.
Saat penculikan Mapata diminta bercerita tentang perkumpulan bissu yang selama ini dianggap tidak sejalan dengan norma agama. Karena lidah Mapata dipotong oleh Ali Baba, yang adalah ketua atau yang berkuasa terhadap organisasi "Pencegahan Penistaan Negara dan Agama", Mapata tidak bisa bicara dia menceritakan kisah perjalanan hidupnya melalui tulisan, sesuai dengan apa yang ditanyakan Ali Baba.

***

Lattar waktu yang digunakan dalam cerita yaitu tahun 1950-2015. Tahun 1950 yang merupakan kejayaan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia ) di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Pada saat menceritakan kembali perjuangan Puang Matua Rusmi yang saat itu menjadi menjadi bissu muda yang melawan tentara TII karena telah membantai anggota-anggota bissu yang lain. Dan membakar Arajang yaitu tempat penyimpanan pustaka-putaka milik suku bugis yang dilindungi oleh para bissu. Sementara tahun 2015 merupakan tahun dimana Mapata diculik dan disiksa oleh kelompok Ali Baba.

Sebenarnya jikalau ingin memahami cerita dalam buku ini, kita lebih baik membaca dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang sejarah yang terjadi di tahun 1950-1965. Tentang pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Dan juga kita harus paham betul tentang sejarah Bissu di Sulawesi Selatan yang merupakan Suku Bugis asli.
Bahkan untuk saya sendiri, meresensi buku ini seperti  saya sedang belajar sejarah. Karena saya harus dibantu oleh google agar saya tidak salah dalam membuat penjelasan. Disini saya akan jelaskan sedikit saja apa itu DI/TII dan bissu.


I. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia


Negara Islam Indonesia (NII) atau dikenal sebagai Darul Islam ( DI ) didirikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Negara Islam Indonesia dibentuk agar dasar-dasar yang digunakan oleh negara adalah Alquran dan hadist. Mereka memiliki tentaranya sendiri untuk berjuang menegakkan Darul Islam, yang biasa disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Sebenarnya DI/TII tersebar diberbagai daerah. Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi. Karena dalam cerita ini penulis mengambil latar di Daerah Sulawesi Selatan, mari kita fokuskan ke daerah tersebut saja. 

Di Sulawesi Selatan DI/TII di pimpin oleh Kahar Muzakkar, yang awalnya Kahar Muzakkar merupakan pimpinan dari Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan ingin bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) namun ditolak oleh pemerintah. Karena penolakan itu Kahar Muzakkar berpaling dari APRIS dan menggabungkan KGSS dengan DI/TII.

Sayangnya, Presiden Soekarno, menganggap DI/TII sebagai pemberontakan karena dianggap menyalahi ideologi negara yaitu Pancasila yang sudah lahir sejak 1 Juli 1945. Pimpinan tertinggi DI/TII diburu dan diberi hukuman mati pada tahun 1962. Kahar Muzakkar sendiri tertembak mati oleh ABRI pada tahun 1965.



Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo


Kahar Muzakkar




II. Bissu



Bissu merupakan tetua adat, sebuah budaya dan adat asli Suku Bugis yang ada di Sulawesi Selatan. Secara harfiah bissu memiliki fungsi yang sama dengan pemuka agama yang ada di Indonesia. Memberkati pernikahan, membuat jalannya sebuah pernikahan lancar dengan ritual adatnya, atau hanya sekedar mencari  hari baik untuk pernikahan. Bissu juga biasanya dipercaya mampu menyembuhkan orang-orang sakit dibantu dengan rapalan mantra yang hanya diketahui seorang bissu. Tentu saja para bissu sering melakukan ritual-ritual khusus untuk momen khusus, seperti saat akan panen padi, biasanya para bissu akan mengadakan upacara adat. Bissu sendiri merupakan sebuah gender. Paling tidak mereka mengakui itu, dan mungkin sampai sekarang sebagian masyarakat Sulawesi Selatan masih mempercayai bissu.  Para bissu memercayai bahwa ada 5 gander yang ada di Indonesia. Perempuan, Laki-Laki, Calalai ( perempuan yang berpenampilan atau bertingkah seperti laki-laki), Calabai ( laki-laki yang berpenampilan atau bertingkah seperti perempuan), Bissu ( bukan laki-laki dan perempuan ).

Namun, sepertinya sekarang kehadiran bissu lebih banyak mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Stigama tersebut berkembang sejak agama-agama luar mulai masuk ke Indonesia. Mereka menganggap bissu adalah sorang banci atau waria, dan kegiatan yang mereka lakukan merupakan hal yang dilarang oleh agama, karena dianggap musyrik dan menyembah berhala. Karena hal itu pada tahun 1950-1965 perkumpulan bissu banyak diburu oleh tentara DI/TII untuk dibunuh. Pada masa pemerintahan orde baru para bissu dibunuh karena dianggap PKI.
Karena stigma negatif tersebut sepertinya para kelompok bissu mulai menghilang karena menghindari masalah. Terlebih tidak ada payung hukum yang melindungi hak mereka.

Di dalam masyarakat Indonesia saat ini, golongan bissu semakin dianggap sebagai golongan pelestari tradisi Bugis yang berjasa bagi kekayaan budaya nasional Indonesia, walaupun keberadaan mereka semakin jarang dan mungkin akan punah pada masa depan karena maraknya globalisasi dan tertekannya keberadaan mereka oleh agama-agama konvensional di Indonesia. ( Paragraf ini diambil dari Wikipedia - Bissu )



***

Penjelasan diatas murni pendapat atau pandangan saya tentang DI/TII dan Bissu ( kecuali ada tertera tulisan "Paragraf ini diambil dari") setelah saya membaca beberpa artikel di internet dan setelah saya membaca Tiba Sebelum Berangkat. Setelah ini saya akan kembali menuangkan pendapat saya tentang buku ini. 

***

Fiksi sejarah yang dituliskan Faisal Oddang merupakan fiksi yang kaya akan informasi, menurutku penulis mampu menempatkan dirinya sebagai penulis yang tidak memihak pada siapapun. Apa yang ada dalam buku ini terasa sangat seimbang. Dia tidak memihak kepada DI/TII atau Bissu, dan saya suka cara menulis seperti itu, karena saya merasa cara menulis seperti itu tetap membuat saya sebagai pembaca merasa waras.
Selain itu cerita dalam buku ini sangatlah intens dan sangat detail, perasaan saya ketika membaca sangat campur aduk, antara marah, sedih, bahagia, bergairah, merinding, ngeri dan mual-mual. Itu mungkin hanya beberapa emosi yang saya ingat. Saya senang ketika saya hampir menyelesaikan membaca buku ini, karena saya pikir kegilaan ini akan berakhir (karena tidak terhitung berapa kali saya ingin memuntahkan isi sarapan di dalam perut saya) , ternyata tidak, karena dibagian akhirpun saya masih dibuat terkejut. Dan membuat saya langsung mengumpat.

Saya salah pada awalnya, saya meremehkan ketebalan buku ini, beberpa buku fiksi sejarah yang saya baca ketebalannya hampir meyentuh angka 500 halaman, saya pikir mudah saja membaca buku fiksi sejarah yang hanya 200 halaman. Tapi kemudian saya menyesal berpikir seperti itu setelah menyelesaikan membaca. Walaupun tipis, buku ini memiliki isi yang padat. Semua unsur dalam buku ini terasa menjelaskan cerita dengan baik, melalui deskripsi, perkembangan karakter, perkembangan konflik hingga eksekusi cerita. Mencapai klimaks tentunya.
Hanya saja, saya merasa kehadiran tokoh Batari dalam hidup Mapata terasa aneh, karena tidak memiliki kejelasan, apa tujuan Batari ingin membantu Mapata sampai sebegitunya. Nah karakter Batari ini yang malah selalu saya pertanyakan. Mungkin itu juga yang membuat saya tidak memberi nilai sempurna untuk buku ini. Padahal dibagian lain saya sudah merasa semua bagus.

Lagi dan lagi, setelah saya membaca buku fiksi sejarah ini, dan melakukan riset kecil-kecilan, saya selalu berada dalam satu pemikiran yaitu, pemerintahan, bahkan saat awal negara ini berdiri masih banyak berbenah tentang kemanusiaan. Perang melawan bangsa sendiri bahkan sudah terjadi jauh sebelum Presiden Soekarno menucapkan kalimat andalannya "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
Ucapannya itu tidak relevan bahkan dimasa beliau menjabat sebagai presiden, karena pada kenyataannya berapa banyak darah bangsanya yang dikorbankan dan mengalir akibat pemberontakan atau bahkan melindugi Presiden Soekarno dari pemberontakan. Mereka mati dan melawan bangsanya sendiri demi mangamankan sebuah kekuasaan. 

***

Tentang Penulis


Faisal Oddang lahir di Wajo, 18 September 1994. Bukunya yang baru terbit : Perkabungan untuk Cinta (Basabasi), Manurung (GPU) dan Puya ke Puya (KPG) yang menjadi salah satu pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 dan menjadi novel terbaik 2015 versi majalah Tempo. Mendapatkan penghargaan ASEAN Young Writers Award 2014 dari pemerintah Thailand, penulis Cerpen Terbaik Kompas 2015, Tokoh Seni Tempo 2015. Mengikuti Residensi Penulis 2016 di Belanda. Juga diundang   ke festival sastra seperti: Ubud Writers and Readers Festival 2014, Salihara International Literary Biennalle 2015, dan Makassar International Writers Festival.



Note peresensi : Kolom Tentang Penulis diambil dari keterangan Tentang Penulis yang ada di dalam buku Tiba Sebelum Berangkat karya Faisal Oddang yang diterbitkan oleh KPG.


You Might Also Like

0 komentar

SUBCRIBE ME



Pengikut