Judul : Melankolia
Ninna
Penulis : Robin Wijaya
Penyunting : Jia
Effendie
Penerbit : Falcon
Publishing
Tebal : 234 hlm; 13x20
cm
ISBN :
978-602-60514-1-7
Rate : 3/5 Bintang
Menceritakan tentang sepasang
suami istri bernama Gamal dan Ninna, mereka saling saling mencintai, namun di
perjalanan rumah tangganya, mereka mendapat musibah, Ninna mengalami kanker
rahim, membuat Ninna harus mengangkat rahimnya. Dan mereka tidak akan mempunyai
anak untuk selamanya.
Sebenarnya dari awal cerita,
buku ini sudah menemui konfliknya, yaitu saat Ninna tridak mempu memberikan
anak pada Gamal. Walaupun hingga ke pertengahan aku merasa cerita berjalan agak
lamban , dan belum menemui klimaks konfliknya.
Menurutku cara penulis bercerita
cukup asik, di tambah dengan tokoh Gamal, yang di karakterkan sebagai orang
yang cukup konyol. Cukup mencairkan ketegangan dalam cerita. Dan bisa beberapa
kali membuatku tertawa.
Plot yang maju mundur,
menggunakan dua sudut pandang Tokoh Utama yaitu Gamal dan Ninna sendiri, cukup
menarik karena aku selalu suka sudut pandang yang lebih dari satu.
Jujur dari awal aku melihat buku
ini, hanya satu hal yang membuatku tertarik, yaitu Judul Bukunya , menggunakan
kata Melankolia atau bisa di sebut Melankolis, yang mengartikan keadaan hati
yang sedih san mengisyaratkan kesedihan yang cukup mendalam. Dan harus aku
akui, aku tidak menemukan sesuatu yang benar-benar terasa mendalam disini.
Kurang menyentuh dari seharusnya. Kesan depresi yang di hadapi oleh ke dua
Tokoh Utama itupun tidak begitu terasa menurutku.
Ending yang sebenarnya cukup
baik, namun masih terasa tidak adil bagiku, aku melihat masih ada keegoisan
Ninna di ending, dan penerimaan Gamal setelahnya. Dan menurutku itu kurang adil
untuk salah satu pihak.
Tapi, secara keseluruhan aku
cukup suka dengan buku ini. Ada pelajaran yang bisa diambil. Tentang bagaimana
mempertahankan Rumah Tangga yang memang diawali dengan hal yang tidak
mudah. Untuk orang yang akan memasuki
hidup Berumah Tangga, aku cukup merekomendasikan buku ini.
“Gamal mencintaiku, dan itu saja sudah cukup. Oleh karena itu bsetiap kali ada orang yang bertanya tentang alasanku menerima dia sebagai suami, aku akan dengan sangat bangga mengatakan kalau dia mencintaiku.” Hal. 218.
Itu salah satu kutipan yang
cukup kerasa buat aku, karena juga alasanku menerima dia sebagai calon Suamiku.
J
0 komentar